Film |
SEJARAH
FILM DI DUNIA DAN PERKEMBANGANNYA
Film
merupakan salah satu bagian dari komunikasi massa. Dalam media massa, film
tidak hanya berfungsi sebagai refleksi terhadap realitas, namun film berfungsi
sebagai pembentuk realitas. Menurut UU nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman,
film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media
komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukkan. Pada dasarnya film menggabungkan unsur audio
(suara) dan visual (gambar) sebagai salah satu bentuk seni yang
merepresentasikan kehidupan serta dinikmati oleh khalayak.
Dalam
latar belakang sejarahnya, film pertama kali dikenal dengan istilah motion picture atau gambar
hidup/bergerak. Pada awalnya motion
picture dan televisi merupakan bagian dari sistem persepsi manusia, yakni
ketekunan pengelihatan dan kejadian. Hal ini berkaitan dengan apa yang terjadi
ketika seseorang melihat satu sumber cahaya keluar dan bagaimana mata orang
tersebut meneruskannya untuk melihat gambar secara cepat sebelum gambar
tersebut menghilang.
Edward Muybridge |
William Dickson |
Penelitian
ini pertama kali dilakukan tahun 1878 oleh Edward Muybridge dengan cara
mengamati lomba pacu kuda. Ia memasang 24 kamera untuk membuat efek seperti
gambar bergerak. Setelah itu, Thomas Edison dan asistennya William Dickson
berhasil mengembangkan praktik gambar bergerak dan memperlihatkan benda secara
jelas. Dickson memecahkan masalah mengenai bagaimana perpindahan film dengan
cepat melalui kamera dengan melubangi bagian tepi dengan lubang kecil. Pada
tahun 1889, Dickson menyempurnakan sebuah mesin yang disebut kinetoscope dan mulai
menjelaskan bagaimana cara kerjanya.
The
Nickelodeons merupakan pembuat film pada awal-awal perkembangan yang membuat
publik terkesan dengan film yang memberitahu sebuah cerita. Di Paris, Alice Guy
Blache memproduksi film The Cabbage Fairy
yang diperlihatkan di Paris Internasional Exhibition pada tahun 1886. Setelah
itu muncul beberapa film lainnya dan Nickelodeons mendapatkan keuntungan dengan
menarik perhatian penggemar.
Adolph Zukor |
D.W. Griffith |
Adolph
Zukor merupakan tokoh yang memutuskan meniru film berdurasi lebih panjang dari
pembuat film Eropa yang didistribusikan untuk para penonton kelas menengah ke
atas di United States dengan menjual tiketnya dengan harga mahal. Di sisi lain,
orang Amerika, D.W. Griffith mengambil keuntungan melalui perantaraan film yang
mengandung bentuk seni.
MPPC |
Auguste (kiri) dan Louis (kanan) |
Edwin S. Porter |
vitascope |
Film
pertama kali dikenalkan oleh Louis Jean dan Auguste Marie Louis Nicholas atau
dikenal Lumiere Brothers dengan mematenkan alatnya, yakni Lumiere
Cinematographe pada Februari 1895. Pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya sinematografi, mereka membuat film berjudul “La Sortie des usines Lumiere a Lyon”
yang diputar di Boulevard des Capucines, Paris, Perancis. 4 bulan kemudian,
Edison dengan menggunakan kamera yang ditemukan Thomas Armatt yang bernama
Vitascope, mengadakan premier film amerika pertama di Koster and Bial’s Theater
di New York pada 23 April 1896. Film mencapai masa keemasan dan kemajuan yang
sangat besar pada awal tahun 1910. Ditandai dengan lahirnya film bisu yang
hitam-putih. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1930 film memiliki warna. George
Mèliès dan Edwin S. Porter yang merupakan pembuat film, menginovasikan film
dengan mengubah film menjadi sebuah seni bukan sekadar dokumenter.
Thomas Armatt dan film hitam putih |
Pada
awalnya distribusi film menggunakan sistem dimana film tersebut dimasukan ke
dalam kaleng logam yang besar dan dikirim ke berbagai bioskop di berbagai
negara. Cara ini merupakan proses distribusi yang mahal karena satu kopi film
memakan biaya lebih dari 2000 dollar dalam pembuatannya, dan sebuah film yang
dirilis secara mendunia akan membutuhkan ratusan kopi. Seiring berkembangnya
zaman, pendistribusian film dilakukan secara digital, yaitu dikirim lewat
cakram atau secara elektronik dengan menggunakan satelit, serat optik, atau
bahkan lewat internet.
SEJARAH
FILM DI INDONESIA
Film
pertama diputar di Indonesia pada 5 Desember 1900 di Tanah Abang Kebon Jahe
(Manage) yang berisi tentang dokumentasi jepretan – jepretan Ratu Wilhelmina
dan Pangeran Hendrik di Den Haag. Pada awalnya, film-film pertama di Indonesia
ditayangkan belum di bioskop, melainkan di gedung-gedung sewaan dan masih
berupa film bisu. Maka dari itu, penonton film biasanya akan diberikan kertas
yang berisi deskripsi dari film yang ditayangkan.
Loetoeng Kasaroeng |
Pada
tahun 1926, lahir film Loetoeng Kasaroeng cerita sunda yang menjadi cikal
bakal lahirnya film-film lain di Indonesia. Film ini menunjukkan pertemuan
antara wayang, sandiwara dan film, serta persoalan – persoalan daya hidup seni
tradisi dalam pertumbuhan kota – kota yang sangat dinamis.
Darah dan doa |
Seorang
pribumi pelopor perfilman Indonesia, H. Usmar Ismail merupakan sutradara dari film Darah
& Doa atau Long March of Siliwangi yang menceritakan
perjalanan panjang (long march)prajurit Indonesia dan keluarga
mereka dari Yogyakarta ke pangkalan utama mereka di Jawa Barat. Film ini menggambarkan
ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan
mereka. H. Usmar Ismail dijadikan sebagai bapak perfilman Indonesia.
H. Usmar ismail |
Pada tanggal 30 Maret, yakni hari pertama pengambilan gambar film tersebut ditetapkan juga sebagai hari film nasional pada masa pemerintahan orde baru. Pada awalnya, Usmar merupakan sastrawan dan dramawan, serta bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa kemerdekaan. Setelah masa perang, ia membantu menyutradarai film – film Andjar Asmara dan mendirikan perusahaan film nasional Perfini pada Maret 1950.
GENRE FILM
action |
komedi |
drama |
kartun |
history |
Horror |
Terdapat
beberapa Genre film, diantaranya Film cerita (cerita panjang dan cerita pendek),
film berita, film dokumenter, film kartun, action, petualangan, komedi, Kejahatan & Gangster,
Drama, Historical, Horror, Musical, Science Fiction, Perang,
Westerners
FILM LOKAL KALAH SAING DENGAN FILM IMPOR?!
Indonesia |
Impor |
versus |
Tayangan film impor di Indonesia memiliki tingkat penonton yang lebih tinggi dibanding film lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia lebih tertarik untuk menonton film impor yang dianggap lebih memiliki bobot. Penjualan tiket di Bioskop untuk film-film impor lebih banyak terjual dibandingkan dengan film-film lokal. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan tim blog Commas rendahnya minat penonton film lokal dikarenakan bagi penonton film lokal tidak realistis, alur ceritanya mudah ditebak, terlalu banyak adegan hiperbola, dan tema yang diangkat terlalu biasa.
Bagi para penonton, film impor memiliki lebih banyak keunggulan seperti, Film terlihat lebih realistis dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, cerita tidak terduga dan penuh teka-teki, penonton dibuat penasaran dengan pesan-pesan non verbal, banyak memberi pesan moral, banyak adegan action yang membuat jantung berdebar, dan adegan tidak terlalu dibuat-buat.
Untuk itu, jika perfilman Indonesia ingin bersaing dengan produk film impor, para penonton berharap perfilman Indonesia bisa mengikuti kriteria-kriteria film yang dimiliki film impor. Film lokal bukan hanya sekadar mengadopsi film-film impor, tapi sebisa mungkin memiliki ide dan kreativitas yang unik serta menarik perhatian khalayak pecinta film di Tanah Air. Dengan demikian, meski persaingan di industri perfilman terus ada, Film-Film Indonesia tidak akan kalah saing. Hal ini dikarenakan bagi penonton jika film itu menarik, maka mereka akan mengapresiasinya dengan menonton di bioskop/ membayar lebih untuk menonton via online. Penonton akan sebisa mungkin menghindari pembajakan apabila film yang ditawarkan sebanding dengan uang yang mereka keluarkan. Dan pada akhirnya film pun akan tetap eksis di masa yang akan datang dengan adanya support dari khalayak sendiri.
QUIZ |
1 1. Andaikan
Industri perfilman tidak pernah pindah ke Hollywood, tetapi malah menetap di
East Coast. Bagaimana film dapat menjadi berbeda?
Maka Industri perfilman tidak akan sama seperti
sekarang, karena MPCC tidak akan pernah berdiri, dan juga tidak akan ada hal
seperti aturan-aturan yang telah MPCC ciptakan. Produsen film akan memakai
peralatan-peralatan tiruan dan persaingan di dalam Motion Picture Production
tidak akan “seadil” seperti sekarang. Film yang diproduksi pun tentunya tidak
akan sama seperti sekarang. Jika industry perfilman tidak pindah ke Hollywood,
maka sangat memungkinkan bila film-film Charlie Chaplin tidak akan pernah ada
dan film-film tidak berkembang dikarenakan tidak adanya sesuatu yang “unik”
pada layar. Sehingga, film-film akan tetap monoton dan tidak memiliki sesuatu
yang baru dan berbeda dari tiap-tiap film.
2 2. Apa saja
kemungkinan keuntungan dan juga kerugian jika perusahaan besar mengontrol Motion Picture Production?
Jika perusahaan besar mengontrol motion picture
production, maka keuntungannya akan seperti ini, produk yang telah mereka buat
akan menjadi produk dengan kualitas yang terjamin baik karena mereka memiliki
sumber daya yang cukup untuk menciptakan kualitas yang lebih baik. Akan tetapi
kekurangannya adalah perusahaan-perusahaan kecil mungkin tidak dapat
berkembang, karena perusahaan yang besar ini akan “memenangkan” lebih banyak
aspek dalam motion picture production,
dan hasilnya adalah keberagaman dalam motion
picture production akan menjadi lebih sedikit.
3 3. Apakah pembuat
film memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab secara sosial atas apa yang
mereka tampilkan di layar? Berikan alasannya.
Iya, karena pada kenyataannya, masyarakat mengambil
contoh dari apa yang mereka lihat/tonton, bahkan dari televisi dan juga
film-film. Pembuat film harus bertanggungjawab jika konten yang mereka
persembahkan di layar adalah sesuatu yang dapat berpengaruh negative kepada
masyarakat, contohnya, unsur seperti gambar telanjang, kekerasan, bahasa yang
kurang senonoh. Disinilah sistem “rating” berfungsi, karena konten yang di
persembahkan kepada masyarakat memang memiliki tujuan audiens/pemirsa nya
masing-masing.
Misalkan jika target audiens nya yaitu orang orang yang sudah
dewasa (Umur 21+), konten yang mengandung unsur-unsur seperti gambar telanjang,
kekerasan, bahasa yang kurang senonoh, dan lain-lain dapat lebih dimaklumkan,
karena dianggap sudah cukup dewasa untuk menerima dan menyaring hal-hal seperti
itu. Akan tetapi jika konten itu ditujukan untuk orang dewasa tetapi yang
mengkonsumsi nya adalah orang- orang dibawah umur (diluar target audiensnya),
pembuat film tidak harus bertanggungjawab atas hal tersebut dikarenakan konten
tersebut telah diberikan “rating” untuk target audiensnya.
4. Apakah salah satu anti pembajakan yang diadopsi oleh industri film menjadi efektif dalam menghentikan penyalinan dan distribusi film ilegal?
4. Apakah salah satu anti pembajakan yang diadopsi oleh industri film menjadi efektif dalam menghentikan penyalinan dan distribusi film ilegal?
Pembajakan terdiri dari membuat salinan film ilegal. Hollywood telah
meluncurkan beberapa taktik untuk mencegah terjadinya pembajakan dalam
menghentikan penyalinan dan distribusi film ilegal. Taktik yang pertama adalah
perlindungan atau keamanan pada salinan film yang harus ditingkatkan. Beberapa
perusahaan yang memproduksi film sedang mengembangkan sistem pengkodean
elektronik yang akan mendistorsi salinan film agar tidak terjadi pembajakan
film, agar membuat para pembajak tersebut tidak berguna dalam membajak film
tersebut.
Dan solusi lain yang sedang dipertimbangkan adalah mengharuskan
pembuat komputer untuk membangun proteksi salinan pada hard drive mereka, membuat hal yang tidak mungkin dalam berbagi
film melalui internet. Beberapa tempat bioskop sekarang mulai mencari atau
mengincar orang – orang atau pelanggan yang secara diam – diam merekam atau memvideo
film bioskop tersebut. Sementara sudah terdapat undang – undang tentang
pembajakan film di bioskop yang berujung dengan membayar denda sesuai dengan
undang – undang yang telah dibuat.
Menurut kami ini cara yang efektif seperti
contohnya di negara China, para pemilik teater menggunakan penglihatan malam selama
pemutaran film berlangsung untuk mencari orang – orang yang secara diam – diam
merekam film bioskop tersebut secara ilegal. Karena banyak sekali film ilegal
yang banyak beredar di internet menggunakan bahasa china. Bisa dipastikan bahwa
banyak sekali di china yang merekam film secara ilegal di bioskop. Dengan
menggunakan penglihatan malam akan lebih efektif dalam mencari orang yang
merekam film secara ilegal dan harapannya dapat menghentikan penyalinan dan
distribusi secara ilegal.
5. Seseorang pernah berkata bahwa produsen hollywood tidak membuat film;
mereka membuat kesepakatan. berikan pendapat dari kebenaran pernyataan tersebut dan implikasinya!
Dalam memproduksi sebuah film terutama pada film
komersial, produsen hollywood bila ingin menghasilkan sebuah film baru tetap
harus membuat atau memproduksi film komersial tersebut. Maksud dari pernyataan
bahwa produsen membuat kesepakatan adalah produsen hollywood membuat
kesepakatan dengan konglomerat besar. Pembuatan film komersial sangatlah mahal karena
hal tersebut industri telah didominasi oleh konglomerat besar.
Banyak film
hollywood berbiaya besar memiliki biaya produksi yang secara rutin mencapai
angka $ 100 juta sehingga disitulah para produsen hollywood membuat kesepakatan
dengan konglomerat besar, dan mereka baru dapat memproduksi film hollywood
tersebut. Tujuh perusahaan besar menguasai sebagian besar pasar. Perusahaan –
perusahaan ini memiliki sumber daya keuangan untuk resiko $ 100 juta atau lebih
pada beberapa lusin film setiap tahun dengan harapan menemukan film laris.
Dalam
membuat film menjadi salah satu kepentingan media di mana konglomerat tersebut
ini terlibat. Beberapa dari konglomerat memiliki saham di televisi dan internet
serta yang lain memiliki perusahaan penerbitan dan perusahan rekaman sehingga
dapat memudahkan produser hollywood dalam memproduksi sebuah film.
Daftar Pustaka:
Dominick, Joseph R., 2011, The Dynamics of Mass Communication, Media in The Digital Age, Mc Graw Hill, New York
Nugroho, Garin,& S., Dyna Herlin. (2015). Krisis dan Paradoks Film Indonesia, Jakarta:
Kompas
Umar, I. 2018. “Usmar Ismail Awards, Ajang Untuk Peringati Hari Film Nasional”, artikel
dipublikasikan di https://tirto.id/usmar-ismail-awards-ajang-untuk-peringati-hari-film-nasional-cGrB,; diakses pada 1 April 2018, pukul 20.00 WIB.
bermanfaat bngt buat penggemar film seperti saya, terima kasih untuk infonya ya!
BalasHapusaku baru tau kalau asal - usul film seperti ini, jadi menambah pengetahuan
BalasHapus